Persimpangan Antara Kemajuan Digital dan Krisis Mental Kolektif
Indonesia tengah berada di persimpangan penting antara kemajuan digital dan ketidaksiapan mental kolektif dalam mengelolanya. Ruang siber yang seharusnya menjadi sarana ekspresi dan edukasi, kini sering berubah menjadi arena pertempuran ego, fitnah, dan disinformasi.
Di balik deretan trending topic dan banjir komentar, kita menyaksikan krisis kesehatan mental dan sosial yang semakin nyata. Hukum kini dituntut hadir bukan sekadar sebagai penjaga ketertiban, tetapi juga pelindung kesadaran manusia di balik layar.
Gelombang Disinformasi dan Reaktivitas Sosial
Data Kementerian Kominfo menunjukkan, sejak 2018 hingga akhir 2024 terdapat lebih dari 12.000 konten hoaks yang berhasil diidentifikasi, dengan lebih dari 2.000 kasus pada tahun 2024 saja. Sebagian besar di antaranya terkait isu politik, SARA, dan kesehatan.
Dalam banyak kasus, hoaks bukan hanya menimbulkan keresahan, tetapi juga korban jiwa. Peristiwa di Wamena dan Sorong, di mana rumor penculikan anak yang tidak berdasar memicu kekerasan massal, menunjukkan bahwa dunia digital kini memiliki kekuatan destruktif yang setara dengan dunia nyata, namun belum diimbangi dengan kesadaran hukum dan etika digital yang matang.
Kesehatan Mental di Tengah Tekanan Digital
Laporan Riskesdas 2023 mengungkap lebih dari 19 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional, dan 12 juta di antaranya menderita depresi. Di kalangan remaja, satu dari tiga mengaku mengalami masalah psikologis dalam setahun terakhir.
Lonjakan gangguan mental ini memiliki korelasi langsung dengan paparan digital yang tidak sehat, cyberbullying, ujaran kebencian, dan tekanan sosial akibat budaya perbandingan di media sosial. Hukum pun dihadapkan pada tantangan baru, bagaimana melindungi warga negara dari dampak psikologis akibat perilaku digital destruktif.
Hukum Digital: Antara Pelindung dan Pedang Bermata Dua
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menjadi tonggak penting bagi Indonesia dalam mengatur dunia digital. Namun dalam praktiknya, UU ini sering menjadi pedang bermata dua.
Di satu sisi, ia berguna untuk menindak penyebaran hoaks, ujaran kebencian, dan pencemaran nama baik. Namun di sisi lain, beberapa pasal multitafsir, terutama yang berkaitan dengan penghinaan, kerap disalahgunakan hingga menimbulkan kriminalisasi ekspresi.
Di sinilah muncul krisis kesadaran hukum, ketika hukum kehilangan rohnya sebagai penjaga keadilan dan berubah menjadi alat kekuasaan.
Menuju Redefinisi Paradigma Hukum Digital
Sebagai praktisi hukum dan akademisi, saya melihat perlunya redefinisi paradigma hukum digital. Hukum tidak cukup hanya menindak setelah pelanggaran terjadi, ia harus berfungsi sebagai sistem pencegahan, pendidikan, dan pembentukan kesadaran sosial.
Pendekatan restorative justice yang mulai diterapkan dalam kasus pelanggaran UU ITE adalah langkah maju. Ia memberi ruang bagi penyelesaian yang lebih manusiawi, dengan menempatkan pemulihan relasi sosial di atas pembalasan. Namun, pendekatan ini hanya efektif bila didukung oleh ekosistem literasi digital dan kesehatan mental yang sehat.
Tanpa kesadaran kolektif, ruang digital akan tetap menjadi ladang reaktif yang mudah terbakar oleh provokasi dan ketidaktahuan.
Integrasi Hukum, Literasi Digital, dan Pemulihan Psikologis
Kebijakan hukum masa depan perlu terintegrasi dengan pemulihan psikologis dan sosial. Korban perundungan siber, pelecehan daring, atau penyebaran hoaks tidak hanya membutuhkan perlindungan hukum, tetapi juga pendampingan emosional dan sosial.
Negara seharusnya tidak hanya mengatur, tetapi juga merangkul. Hukum tidak bisa berdiri kaku di atas teks undang-undang, ia harus hidup, bernafas, dan memahami luka batin warganya.
Dalam dunia yang semakin terkoneksi, kesalahan satu unggahan bisa berujung pada bencana sosial. Namun akar masalahnya bukan pada teknologi, melainkan pada kurangnya kesadaran dan tanggung jawab moral individu.
Hukum ideal bukanlah tembok pembatas, melainkan cermin kesadaran kolektif. Penegak hukum tidak lagi sekadar menghukum, tetapi menumbuhkan kesadaran, membangun keadilan yang edukatif, dan menciptakan ekosistem digital yang sehat.
Hukum yang Menuntun, Bukan Menghukum
Sebagai Direktur Legal di Sidik Cyber dan Ketua Bidang Hukum Yayasan Restorasi Jiwa Indonesia, saya melihat urgensi untuk menyatukan dua bidang ini, keamanan digital dan kesehatan mental, dalam satu visi kesadaran hukum nasional.
Ruang digital adalah cermin batin masyarakat. Jika cerminnya kotor, bukan hanya wajah bangsa yang buram, tetapi juga nurani hukumnya. Karena itu, membangun kesadaran digital bukan hanya urusan teknis, melainkan juga urusan moral dan hukum.
“Hukum tidak hanya mengatur perilaku manusia, tetapi juga menata kesadarannya.
Ketika kesadaran tumbuh, pelanggaran berkurang, dan ketika hati menjadi terang, hukum menjadi pelindung, bukan ancaman.”
— Andrie Taruna, S.H., M.H.










